Sejarawan Muslim, Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha` al-Islam pernah menulis bahwa pendidikan [Islam], pada masa keemasan Islam, tidak memiliki periodesasi tertentu; sehingga tidak ditemui [apa yang disebut] pendidikan dasar atau ibtidaiyyah, pendidikan menengah, dan sebagainya. Yang ada adalah satu periode utuh.
[Pendidikan] berawal dari kuttab atau dengan bimbingan guru khusus, dan berakhir dengan halaqah di masjid.
Berdasar itu, maka jauh sebelum sistem pendidikan sekolah masuk ke dalam tradisi Islam, sejarah Islam telah mencatat keberadaan beragam program atau lembaga pendidikan, yang dalam pengertian sekarang (seperti telah dibahas pada definisi PLS) dapat dikatagorikan sebagai program pendidikan luar sekolah yang demikian berkembang pesat mewarnai khazanah peradaban Islam, seperti kuttab, halaqah, masjid, khan, khanqah dan sebagainya. Tulisan ini dan beberapa di belakangnya akan membahas tentang lembaga-lembaga tersebut baik dalam konteks dunia Islam secara global maupun local, khas Indonesia.
Pengertian Kuttab
Istilah kuttab telah dikenal di kalangan bangsa Arab pra-Islam; dan seperti sebelumnnya kuttab menjalankan fungsi yang sama dalam Islam, yaitu sebagai lembaga pendidikan dasar terutama mengajarkan tulis-baca. Pada saat datangnya Islam hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal tulis-baca. Di tengah permusuhan suku Quraisy, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Rasul saw bersama pengikutnya yang hanya sedikit. Ketika akhirnya mereka hijrah ke Madinah (622 M.) beberapa orang dari suku Aws dan Khazraj (dua suku utama Madinah) dapat menulis dan membaca.
Menuruti ajaran Islam, Rasulullah saw. memberikan perhatian khusus pada soal-soal pendidikan. Keterampilan tulis-baca yang merupakan materi utama pendidikan kuttab- menjadi semakin penting sejalan dengan berkembangnya komunitas Muslim Madinah. Kebutuhan paling penting, tentunya, adalah mencatat wahyu yang diterima oleh Rasul saw. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan komunikasi antara umat Islam dengan suku dari bangsa lain. Peletakan tulis-baca sebagai prioritas dapat kita lihat dengan peristiwa pembebasan beberapa tawanan Perang Badr (2/624) setelah mereka mengajarkan tulis-baca kepada sekelompok Muslim. Rasul saw juga memerintahkan Al-Hakam bin Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi perhatian utama umat Islam sejak masa yang paling awal.
Pada mulanya, pendidikan kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru (mu’allim, mu’addib) atau di pekarangan sekitar masjid. Materi yang digunakan dalam pelajaran tulis-baca ini pada umumnya adalah puisi dan pepatah-pepatah Arab yang mengandung nilai-niiai tradisi yang baik. (Penggunaan Al-Quran sebagai teks dalam kuttab baru terjadi kemudian, ketika jumlah Muslim yang menguasai Al-Quran telah banyak, dan terutama setelah kegiatan kodifikasi pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan). Kebanyakan guru kuttab masa awal Islam adalah nonMuslim, sebab Muslim yang dapat membaca dan menulis yang jumlahnya masih sangat sedikit sibuk dengan pencatatan wahyu Al-Quran.
Dua Jenis Kuttab
Ahmad Syalabi adalah ilmuwan pertama yang menjelaskan terdapatnya dua jenis kuttab dalam sejarah pendidikan Islam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada isi pengajaran (kurikulum), tenaga pengajar dan masa tumbuhnya.
Kuttab jenis pertama adalah kuttab yang berfungsi mengajarkan tulis-baca dengan teks dasar puisi-puisi Arab, dan dengan sebagian besar gurunya adalah non-Muslim (setidaknya pada masa Islam yang paling awal). Kuttab jenis kedua adalah yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan dasar-dasar agama Islam. Di sinilah, menurut Syalabi, terjadinya kekeliruan pemahaman oleh beberapa ilmuwan terdahulu, dengan menganggap kedua jenis kuttab ini adalah sama. Ia mengambil contoh tiga orang ilmuwan: Philip K. Hitti, Ahmad Amin, dan Ignaz Goldziher. Konsekuensinya memang cukup jelas. Mempercayai bahwa tulis-baca Al-Quran dan dasar-dasar agama diajarkan pada kuttab yang sama sejak masa Islam yang paling dini akan menjurus pada kesimpulan bahwa anak-anak generasi awal Muslim mempelajari agamanya dari orang-orang non-Muslim.
Di sinilah signifikansi perbedaan kedua kuttab ini menjadi terlihat jelas. Kuttab jenis kedua tidak ditemui pada masa paling awal, ketika kuttab jenis pertama sudah mulai berkembang. Pengajaran Al-Quran pada kuttab (sebagai teks) baru mulai setelah jumlah qurra’ dan huffazh (ahli bacaan dan penghafal Al- Quran) telah banyak. Sebelumnya pengajaran agama anak-anak dilangsungkan di rumah-rumah secara non-formal.
Dengan semangat ilmiah yang tinggi, jumlah Muslim yang mengenal tulis-baca serta menguasai Al-Quran berkembang sangat cepat, dan ketergantungan pada guru-guru non-Muslim berangsur hilang. Hal ini dilengkapi dengan kontak umat Islam dengan pusat-pusat kegiatan intelektual di luar Arabia sepanjang dan sesudah penaklukan. Hanya sekitar sepuluh tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, pasukan Islam telah menguasai Syria, Irak, dan Mesir — daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan intelektual saat itu. Peristiwa ini mendorong munculnya diversifikasi pengetahuan yang dikenal oleh umat Islam dan pada gilirannya mempengaruhi kurikulum kuttab. Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa tulis-baca, puisi, Al-Qur’an, gramatika bahasa Arab, dan aritmatika (berhitung dasar) menjadi bagian utama dari kurikulum pendidikan level ini
Beberapa sumber Abad Pertengahan memberikan informasi yang saling berbeda tentang usia anak memasuki pendidikan kuttab. Barangkali ini dapat juga dianggap sebagai pertanda tidak adanya ketentuan yang baku. Ilmuwan Al-Andalus (Spanyol), Ibn Hazm (w. 456/1064) menganggap bahwa usia lima tahun adalah ideal untuk memulai pendidikan kuttab.
Ibn Al-Jawzi (w. 597/1200) memberitakan bahwa ia memulai pendidikan kuttabnya pada usia enam tahun, tetapi banyak di antara teman sekelasnya yang lebih tua dari dia sendiri. Seorang ulama benama Ibn Al-’Adim baru masuk kuttab pada usia tujuh tahun. Yang lain bahkan menunggu sampai berusia sepuluh tahun. Semua ini menunjukkan tidak adanya keseragaman praktik tentang usia untuk memulai pendidikan kuttab.
Perbedaan ini juga berlaku dalam penekanan materi pengajaran, sesuai dengan kebutuhan daerah tertentu dan pertimbangan para ulamanya. Berikut ini adalah catatan Ibn Khaldun (w. 808/1406) mengenai praktik pendidikan kuttab pada masanya, yang menunjukkan perbedaan tersebut pada empat daerah yang berbeda. Pertama, umat Islam Al-Maghrib (Maroko) sangat menekankan pengajaran Al-Quran. Anak-anak daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai Al-Quran secara baik. Pendekatan mereka adalah pendekatan ontografi (mengenali satu bentuk kata dalam hubungannya dengan bunyi bacaan). Itulah sebabnya, menurut Ibn Khaldun, Muslim Maroko dapat menghafal Al-Quran lebih baik dari Muslim daerah mana pun.
Kedua, Muslim Spanyol (Al-Andalus). Kuttab daerah ini mengutamakan menulis dan membaca. Al-Quran tidak diutamakan dibandingkan dengan puisi dan bahasa Arab, misalnya. Penekanan dapat membaca dan menyalin Al-Quran tanpa harus menghafalnya (seperti Muslim Maroko).
Ketiga, daerah Ifriqiyah (Afrika Utara = Tunisia, sebagian Algazay, dan sebagian Libya). Di sini, begitu Ibn Khaldun, pendidikan dasar di kuttab mengutamakan Al-Quran dengan tekanan khusus pada variasi bacaan (qira’at); lalu dilkuti dengan seni kaligrafi dan hadis.
Daerah keempat yang dibicarakan oleh Ibn Khaldun adalah daerah Timur (Al-Masyriq = Timur Tengah, Iran, Asia Tengah, dan Semenanjung India) yang menurut pengakuannya tidak ia ketahui secara jelas dibandingkan tiga daerah yang pertama. Secara umum daerah Timur ini menganut kurikulum campuran, dengan Al-Quran sebagai inti; tetapi tidak memadukannya dengan keterampilan kaligrafi, sehingga tulisan tangan anak-anak Muslim dari Timur tidak begitu baik.
Lepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, kuttab berkembang pesat sejak masa awal dan dalam perjalanan sejarah peradaban Islam mengalami perkembangan yang menyesuaikan kepada berbagai latar belakang budaya. Dari lembaga dengan belasan murid pada awalnya, kuttab, di beberapa tempat, menjadi lembaga yang mengumpul ribuan murid, masih pada penghujung abad pertama Hijriyah. Kuttab pimpinan Abu Al-Qasim Al-Balkhi (w. 105/723) di Kufah diberitakan mempunyai 3.000 orang murid. Meluasnya lembaga ini, barangkali, dapat kita bayangkan dari laporan seorang pengembara, Ibn Hawqal (w. 367/977). Ketika ia mengunjungi Palermo, Sisilia, di sana terdapat sekitar 300 orang guru kuttab— satu fakta yang mengindikasikan terdapatnya ratusan kuttab di kota ini. Palermo hanyalah sebuah kota kecil bila dibandingkan dengan Baghdad, Damaskus, Aleppo Istanbul, Jerussalem, Samarkand, atau Kairo. Pada Abad Pertengahan beberapa kuttab di Kairo menyediakan asrama dan akomodasi bagi murid-muridnya. Di daerah ini juga ada kuttab yang berafiliasi dengan satu lembaga; pendidikan tinggi yang secara tidak langsung tentunya membantu kelangsungan pendidikan murid-murid lulusannya ke level yang lebih tinggi. []
reference :
sayangnya, tidak ada footnote dan maraji’ yang jelas..sejarah tanpa bukti/maraji’ sebagaimana gosip yang Qila wa Qala. Sumber.