Beranda
Kamis, 01 Maret 2012

[Homeschooling]: Legalitas, Sosialisasi, Terbatasnya Pengetahuan

0 komentar
Sebenarnya kerepotan dalam homeschool juga hampir sama dengan kerepotan bila anak bersekolah. Untuk mencari sekolah yang baik, dan sesuai kriteria yang diinginkan sebuah keluarga tentu harus banyak survey dan cek dan ricek terlebih dahulu. Misalnya saja dengan pilihan sekolah formal. Pertama-tama keluarga harus mencari sekolah yang sesuai dengan kriteria dalam keluarga tersebut. Ada keluarga yang mensyaratkan aqidah yang shohih, ilmu agama yang baik, guru-guru yang paham jiwa anak, kebijakkan bullying disekolah tersebut, kebijakan pemberian tugas/PR, sampai kepada kebersihan dan kesehatan untuk anak. Setelah semua itu, semua kriteria yang diinginkan harus disesuaikan dengan dana yang dimiliki keluarga tersebut (uud, ujung-ujungnya duit ^^). Sedangkan pada keluarga homeschool adalah kendali semua urusan ada di dalam rumah, bukan di tangan pihak lain. Misalkan ingin memenuhi kebutuhan sosialisasi anak, maka sebisa mungkin keluarga tersebut mengadakan sumber tersebut melalui berbagai cara.
Ketika kami akhirnya memutuskan benar-benar untuk mengambil jalur homeschool, setidaknya ada 3 pertanyaan utama yang diajukan pada keluarga kami oleh teman-teman di sekitar kami. Pertama tentang legalitas sekolah rumah, sosialisasi anak homeschooler dan bagaimana mensiasati kemampuan orangtua yang terbatas. Pertanyaan ini sebenarnya amat sering diajukan kepada keluarga homeschool yang sudah lama terjun dengan pilihan sekolah rumah, tetapi baru sekarang-sekarang ini benar-benar kami pikirkan jawabannya. Sayangnya, tidak setiap saat kami memiliki “mood” atau waktu untuk menerangkan. Mungkin dengan adanya catatan ini kami bisa mengatakan kepada saudara/teman yang bertanya mengenai ketiga hal di bawah untuk merujuk ke blog kami saja…hehehe….
 
1. Legalitas.
Isu legalitas dari homeschool/Sekolah rumah adalah yang paling sering ditanyakan. Sebenarnya Sekolah rumah sendiri sudah diakui oleh undang-undang Sistem Pendidikan Nasional:
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 :
* Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
* Hasil Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Untuk mengambil ujian/ijazah-pun terbuka banyak kesempatan. Misalnya saja HSer bisa mengambil ujian kesetaraan paket A (setara kelas 6 SD), paket B (setara kelas 9, SMP) dan paket C (setara dengan kelas 12, SMA). Adakalanya para homeschooler juga ikut ujian dengan sekolah payung yang membolehkan para HSer untuk ikut serta dalam ujiannya. Dalam hal ini, HSer bisa mengikuti ujian melalui sekolah yang memiliki kebijakan sebagai sekolah payung, atau yang dikenal dengan istilah umbrella school. Sekolah-sekolah seperti ini menampung siswa HSer untuk juga dapat mengikuti ujian akhir nasional (UAN) di sekolah tersebut. Ijazah yang dikeluarkan adalah sama berasal dari Diknas, dan sama dengan teman-temannya yang bersekolah di sekolah formal.

Jika HSer merasa ingin mencoba kemampuannya dengan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga internasional, HSer bisa mencoba mengambil ujian yang diselenggarakan oleh Cambridge atau SAT. Kedua lembaga ini membuka kantor perwakilannya di Jakarta, dan ujian juga diselenggarakan di Indonesia. Keuntungan dari ijazah ini adalah pemegang ijazah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang mensyaratkan ijazah Cambridge atau score SAT tertentu sebagai persyaratan masuk. Hal ini banyak ditemui pada siswa yang melanjutkan pendidikan di luar negeri, dimana sekolah/univ ditempat tersebut tidak menerima ijazah yang diterbitkan dari Diknas.

Cambridge:
Sementara untuk Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) sebagai perwakilan Cambridge di Jakarta,
alamat: Lantai 3, Kompleks Mesjid Agung Al Azhar, Jl.
Sisingamangaraja, Kebayoran Baru. Telepon 021-72792753 dan 71132366

SAT:
Indonesian International Education Foundation (IIEF)
Menara Imperium, 28th Floor, Suite B
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 1. Jakarta, Indonesia 12980
Tel: +62 21 831 7330
Fax: +62 21 831 73331
Email: testing@iief.or.id

Ada juga teman yang sempat menyatakan kepada saya bahwa ijazah yang diperoleh di sekolah tentu berbeda dari yang dimiliki anak-anak homeschooler. Jawaban kami adalah ijazah itu sama, bahkan banyak pesantren yang belum menerbitkan ijazah sendiri, mereka masih ikut ujian dengan sistem paket A/B/C. Ujian paket itulah yang juga sama diambil oleh para homeschooler. Ijazah paket diterima di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, dan hal itu terjamin oleh Undang-undang. Nyatanya, sudah banyak HSer yang dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri, semisal UI dan UGM, dengan memakai ijazah paket C. Jika memang siswa mampu untuk memenuhi standar penerimaan di universitas bergengsi itu, mengapa harus dihalang-halangi hanya karena ia bersekolah di rumah (HSer).
 
2. Sosialisasi
Selain mengenai ijazah (legalitas) sekolah rumah, masalah sosialiasi juga menjadi topik yang sering ditanyakan. Sebenarnya jika merujuk kepada definisinya dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sosialisasi diartikan sebagai:
so·si·a·li·sa·si n 1 usaha untuk mengubah milik perseorangan menjadi milik umum (milik negara): tradisi tidak memperlancar proses — perusahaan milik keluarga; 2 proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dl lingkungannya: tingkat-tingkat permulaan dr proses — manusia itu terjadi dl lingkungan keluarga; 3 upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga men-jadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat; pemasyarakatan;
ber·so·si·a·li·sa·si v melakukan sosialisasi: acara rekreasi itu merupakan salah satu kesempatan bagi anak-anak berkelainan untuk – dng masyarakat;

Sosialisasi menurut para ahli bahasa-pun bermacam-macam, saya ambil satu definisi menurut Giddens (1994): proses sosialisasi sebagai sebuah proses yang terjadi ketika seorang bayi yang lemah berkembang secara aktif melalui tahap demi tahap sampai akhirnya menjadi pribadi yang sadar akan dirinya sendiri, pribadi yang berpengetahuan dan terampil akan cara hidupnya dalam kebudayaan tempat ia tinggal.

Jadi semenjak anak lahir, si anak sudah mulai bersosialisasi. Entah itu pada ibunya, ayahnya, kakak atau adiknya, paman dan tantenya, nenek dan kakeknya, sepupunya dan lain sebagainya. Ketika ia beranjak besar, ia mulai mengenal orang lain dari berbagai umur, mulai dari anak-anak tetangga, penjaja jajanan keliling, petugas kasir, teman ibu atau ayahnya, teman abang atau kakaknya dan lain sebagainya. Demikian seterusnya sampai kemudian si anak memasuki usia sekolah.

Lantas dipertanyakan kepada anak yang bersekolah di rumah (HSer), bagaimana caranya bersosialiasi? Tentu saja jawabnya sama seperti ketika ia mulai belajar bersosialisasi dari ketika ia lahir sampai sekarang usianya. Sosialisasi yang dimaksud tentu saja tidak harus dengan usia yang sama, dengan usia yang berbeda menurut saya anak-anak justru terasah keterampilannya dalam mengahadapi orang dengan berbagai tingkat usia.

Mengusahakan pergaulan dengan sesama anak-anak (walau tidak harus seumur) tetap bisa diusahakan oleh keluarga HSer. Misalnya dengan mengikutkan anak ke taman pendidikan Al Qur’an (TPA) disekitar rumah, mengadakan taman bacaan di rumahnya dengan anggota anak-anak tetangga, menjalin pertemanan dengan anak-anak dilingkungan rumah, mengadakan temu bermain (dengan sesama anak keluarga HSer, anak teman atau saudara), mengaktifkan diri kita dengan komunitas HSer yang ada di kota masing-masing, field trip dengan komunitas positif apa saja, bergabung dengan lembaga kursus bagi anak, ikut pada klub anak, dlsb.
Jadi sosialisasi bagi anak sekolah rumah adalah sama saja dengan anak yang bersekolah formal. Bedanya HSer tidak dikondisikan untuk selalu bertemu dengan teman yang sama setiap hari.
 
3. Pengetahuan orangtua terbatas.
Selain kedua pertanyaan di atas, pernyataan bahwa pengetahuan orangtua terbatas juga sering diajukan. Di sekolah, tersedia guru-guru dengan berbagai keahlian mengajar dan spesialisasi pengetahuan. Sementara di rumah, keahlian orangtua yang lebih terbatas dikhawatirkan membuat pengetahuan anak tidak berkembang sebaik di sekolah. Dalam hal ini kami tentu tidak akan menyangkal terbatasnya pengetahuan yang dimiliki manusia. Siapapun manusia tersebut, entah itu orangtua, guru, kepala sekolah, dosen, profesor sekalipun tidaklah menjadi pribadi yang tahu segala hal. Oleh sebab itu meminta bantuan pada pihak lain adalah tidak “haram” bagi keluarga Hser. Adakalanya keluarga Hser minta bantuan pada pihak lain untuk pelajaran yang tidak dikuasainya. Dan ini sah-sah saja terjadi di kalangan keluarga sekolah rumah. Ada yang mensiasatinya dengan bertukar bahan ajar, bertukar mengajar (misalnya keluarga HSer fulan bisa mengajarkan tahsin Al Qur’an, keluarga B menukarnya dengan pelajaran bahasa Inggris, dll), memanggil guru ke rumah, mengikutkannya pada lembaga kursus dan lain sebagainya.

Selain dari cara-cara tersebut, yang tak kalah penting juga adalah membekali anak dengan kemampuan mencari informasi sendiri. Misalnya ketika ada pertanyaan dalam benaknya, anak memiliki kemampuan bertanya dan tahu ke mana ia harus mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Anak bisa diajari untuk mencari tahu mengenai pertanyaan tersebut lewat buku-buku, kamus ataupun menggunakan situs pencari (google). Jika harus menanyakan kepada seseorang, anak bisa diajari untuk megidentifikasi narasumber yang tepat dalam menjawab pertanyaan. Bertanya pada ustadz untuk mencari jawaban pertanyaan keagamaan, atau pada tukang roti atau tape untuk pertanyaan mengenai ragi atau pembuatan bahan tersebut. Sering terjadi orangtua HSer sama belajarnya seperti anak HSer dalam keluarga tsb. Dan mudah-mudahan hal tersebut dapat menjadi suatu watak positif tersendiri bagi keluarga tersebut, yaitu memiliki kemampuan untuk menyusun informasi dan menyadari bahwa orangtua/guru/ustadz tidaklah mengetahui segala hal.

Begitulah kiranya yang ada di benak saya mengenai ketiga hal diatas, legalitas, sosialisasi dan kemampuan mengajar yang terbatas. Mudah-mudahan dapat memberikan sedikit gambaran mengenai ketiga hal tersebut, dan memberikan saling pengertian antara pilihan bersekolah atau bersekolah dirumah (Hs/He).

Leave a Reply